Suku Mee Dan Moni di Paniai
|
Potret kota Enarotali |
Malang, Pana News__Sekitar
akhir tahun 30-an Belanda mencapai Kabupaten Paniai, ini menjadi babak
baru pertemuan antara masyarakat asli-suku Mee di bagian barat dan suku
Moni di bagian timur dengan orang luar. Melalui ekspedisi di bawah
pimpinan Pastor H. Tillemans pemerintah Belanda mendirikan pos misi atau
disebut juga pos pemerintahan di Enarotali.
ENAROTALI atau biasa
disebut Enaro di Kecamatan Paniai Timur hingga kini masih menjadi pusat
pemerintahan meski mengalami perbedaan luas dan status wilayah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1996 Kabupaten Paniai
dimekarkan menjadi Kabupaten Administratif Paniai dan Puncak Jaya.
Sementara itu, Kabupaten Paniai lama berganti nama menjadi Nabire. Tiga
tahun kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 status
Paniai ditingkatkan dari kabupaten administratif menjadi kabupaten
devinif/otonom.
Sudah tujuh tahun pemekaran terjadi, namun tujuan
memperpendek rentang pemerintahan dan mempercepat pembangunan masih
terkendala pada letak geografis. Berada di ketinggian mecapai 2.000
meter dengan topografi bergunung dan berlembah menjadikan Paniai
terisolasi.
Kecamatan Sugapa, Homeyo, Agisiga, dan Biandoga tidak
dapat dijangkau melalui darat, satu-satunya transportasi adalah pesawat
terbang, jika tidak ingin berjalan kaki seharian.
Paniai
memiliki 15 lapangan terbang, 11 di antaranya milik swasta dengan bandar
udara utama di Enaro. Trigana, Merpati, AMA, dan MAF adalah maskapai
penerbangan yang beroperasi di wilayah ini.
Ubi jalar yang dalam
bahasa Mee disebut “Nota” menjadi makanan utama penduduk di perkampungan
merupakan produksi tanaman pangan terbesar yang mana pada tahun 2002
mencapai puncak produksi tertinggi dibanding dua tahun sebelumnya. Ubi
jalar “Nota” lazim dimasak dengan cara yang sangat khas, yaitu bakar
batu atau dikenal dengan istilah barapen. Tehnik memasak ini lazim
digunakan oleh masyarakat pegunungan tengah Papua.
Batu yang
membara sehabis dibakar, digunakan untuk mematangkan “Nota” yang ditutup
daun. Hingga kini belum ada industri kecil atau industri rumah tangga
yang mengolah nota menjadi kripik, dodol tepung, atau dikemas dalam
bentuk lain yang tahan lama.
Dalam kondisi normal kebutuhan nota
dipenuhi dari hasil panen lokal, jika terjadi banjir atau kekeringan.
Pada saat banjir, pohon-pohon tergenang air dan akhirnya membusuk.
Sebaliknya, di kala kering pohon-pohon mati kekurangan air. Yang terjadi
kemudian adalah kekurangan pangan.
Daerah bersuhu rendah dan
berkelembaban tinggi seperti Paniai, tak banyak tanaman pangan yang bisa
tumbuh seperti padi atau kelapa. Pertanian masih dilakukan dengan pola
tanam yang sangat sederhana, meski lahan pertanian sudah menetap. Bukan
cangkul apalagi traktor yang digunakan, melainkan kayu yang menjadi
andalan pengolahan lahan pertanian. Kayu dianggap lebih cepat
menghancurkan tanah. Di sini peran wanita petani sangat besar karena
setelah petani pria membuka lahan, urusan bercocok tanam selanjutnya
sepenuhnya tanggung jawab petani wanita.
Pengangkutan barang dan
komunikasi dari dan ke Paniai selama ini melalui Kabupaten Nabire dengan
moto Paniai "aweta ko enaa agapida me", artinya hari esok lebih baik
dari hari ini, setidaknya menunjukkan semangat untuk mencapai kemakmuran
dan kemajuan di masa mendatang.
ALFRED PEKEI
Posting Komentar